Wednesday, 4 April 2012
Sikap Terpuji (Pend. Agama Islam X)
05:12 | Label: Pend. Agama Islam SMA X
Pentingnya Sikap Terpuji
Biografi Perawi
Abu
Umamah Al-Bakhily, nama lengkapnya adalah Abu Umamah Ash-Shady
Al-Bakhily, Ibn Ajalan, Ibn Ribah, Ibn Ma’an Ibn Malik, Ibn Ashar, Ibn
Sa’id, Ibn Qais Ailan Ibn Mudhar, Ibn Najar, Ibn Mu’adalah Ibn Adnan. Ia
termasuk salah seorang sahabat yang masyhur.
Ia meriwayatkan hadis
Rasulullah SAW sebanyak 250 hadis. Diriwayatkan oleh Bukhari sebanyak 5
hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim sebanyak tiga hadis. Hadis-hadisnya
banyak diriwayatkan pengarang Kitab Sunan yang enam.
Dia tinggal di
Mesir dan meninggal disana pada tahun 81 atau 86 H. ia termasuk sahabat
paling akhir yang meninggal di Syam dan hadis-hadisnya banyak dikenal
orang-orang Syam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Hadis
ini menerangkan tiga perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga
dari Rasulullah bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja, ketiga
perilaku ini harus diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah
ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah :
1. Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat
atau berbantah-bantah adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk
menjadikan orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan
lawan debat dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang
mendebatnya itu tidak tahu persis permasalahan, karena kebodohannya. Dan
yang lebih ditonjolkan dalam berdebat adalah keegoannya sendiri
sehingga ia berusaha mengalahkan lawan debatnya dengan berbagai cara.
Sebenarnya,
tidak semua bentuk perdebatan dilarang dalam Islam apalagi kalau
berdebat dalam mempertahankan aqidah. Hanya saja, perdebatan seringkali
membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya dilandasi oleh
keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk mencari
kebenaran.
Adapun dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang
dalam setiap perdebatan, Nabi menganjurkan umatnya untuk
meninggalkannya, dan membiarkannya beranggapan bahwa dia menang dalam
perdebatan tersebut. Dengan berperilaku seperti itu, bukan berarti kalah
dalam perdebatan tersebut, melainkan menang di sisi Allah dan
mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana Nabi menyatakan bahwa dijamin
surga baginya.
Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, seperti ketika
berdebat dengan orang-orang kafir tentang aqidah, kita harus
mempertahankan pendapat kita dengan menggunakan berbagai cara supaya
mereka menyadari bahwa aqidah kita memang benar dan mereka salah.
Dengan
demikian, kapan seseorang harus meninggalkan suatu perdebatan dan kapan
dia harus mempertahankannya sangat bergantung pada kondisi.
Dalam
berdebat hendaklah mengetahui dengan jelas motivasi dan tujuannya,
apakah mencari kebenaran atau hanya mencari prestise semata. Kalau
sama-sama mencari kebenaran, diyakini bahwa mereka yang berdebat tidak
akan mempertahankan pendapatnya yang salah, dan tidak saling menjatuhkan
satu dengan yang lain. Namun demikian, meninggalkan perdebatan adalah
paling utama dan pelakunya akan diberi pahala oleh Allah SWT dengan
menempatkannya di surga.
2. Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau
Berdusta
adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan
sebenarnya. Dusta sangat dilarang dalam Islam. Karena selain merugikan
orang lain, juga merugikan diri sendiri. Banyak ayat dalam Al-Qur’an
yang mencela orang yang suka berdusta, apalagi terhadap mereka yang
mendustakan Allah. Seperti firman-Nya :
Artinya :
“Pada hari
kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah,
mukanya menjadi hitam. Bukankah di dalam neraka Jahannam itu ada tempat
bagi orang yang menyombongkan diri.”
( QA. Az-Zumar:60)
Sebaliknya,
Islam sangat menghargai orang yang bersifat jujur walaupun dalam
bercanda. Orang-orang yang selalu jujur, sekalipun dalam bercanda
sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas dijamin oleh Rasulullah SAW
satu tempat di tengah surga.
Dalam bercanda, seseorang biasanya suka
melebih-lebihkan candaannya untuk mengundang tawa orang yang diajak
bercanda. Hal ini membuatnya merasa puas. Maka dibuatlah gurauan dengan
berbagai cara walaupun harus berbohong. Hal seperti itu, tidaklah benar
dalam Islam karena apapun alasannya berbohong merupakan perbuatan yang
dilarang.
Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ
فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ ، وَيْلٌ لَهُ ، ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Artinya:
“Dari
Bahz Ibn Hakim dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “kecelakaanlah bagi orang yang menceritakan, tetapi ia
berdusta untuk membuat orang-orang tertawa dengan itu. Kecelakaanlah
baginya ! kemudian kecelakaanlah baginya.”
(Dikeluarkan oleh tiga dan isnadnya kuat)
Kejujuran
juga harus selalu dipegang teguh oleh para ahli ilmu jika ia menghadapi
sesuatu yang belum ia ketahui. Secara jujur ia harus mengatakan bahwa
ia tidak tahu. Bahkan para ilmuan salaf (terdahulu) setiap selesai
menulis karya mereka, selalu menulis kalimat Wallahu a’lam (Allah lebih
mengetahui). Pernyataan seperti itu adalah kejujuran sangat tinggi dari
seorang ilmuwan tentang kebodohan dirinya dan kemahatahuan Allah SWT.
Adapun
salah satu cara untuk menjadi orang yang jujur adalah dengan cara
bergaul dengan orang-orang yang dikenal sebagai orang jujur. Hal ini
karena pergaulan sangat berpengaruh terhadap watak dan kepribadian
seseorang. Allah SWT berfirman :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah: 119)
3. Orang yang baik budi pekertinya
Sifat lainnya yang meningkatkan derajat seseorangdi sisi Allah SWT dan juga dalam pandangan manusia adalah akhlak terpuji.
Salah
satu risalah Rasulullah SAW beliau memiliki akhlak terpuji, Rasulullah
SAW memberikan suri teladan bukan sekedar memberikan anjuran atau
perintah kepada umatnya. Itulah salah satu sebab keberhasilan dakwah
Rasulullah SAW. beliau memiliki akhlak yang sangat terpuji yang dikagumi
kawan maupun lawannya. Hal itu dijelaskan dalam Al-Quran:
Artinya:
“Sungguh engkau (Muhammad) berbudi pekerti yang luhur.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Barang
siapa yang ingin berakhlak mulia, ia harus berusaha meniru akhlak
Rasulullah SAW yakni menuruti segala petunjuk yang terdapat di dalam
Al-Quran dan sunnahnya. Ketika Siti Aisyah ditanya tentang akhlak
Rasulullah SAW, dia berkata bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran.
Sifat
orang yang berakhlak mulia, diantaranya adalah bermuka manis, berusaha
untuk membantu orang lain dan perkara yang baik, serta menjaga diri dari
perbuatan jahat. Orang yang memiliki sifat seperti itu, selain
dijanjikan surga sebagaimana dinyatakan dalam hadis di atas, juga
dianggap sebagai orang yang paling baik di antara sesama manusia lain.
Rasulullah SAW, bersabda :
وَعَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍوبن العاص
رضي الله عنهما قَالَ: لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا ، وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إِنَّ مِنْ
خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا. (متفق عليه)
Artinya:
“Abdullah
bin Amru bin Al-Ash r.a berkata, “Rasulullah SAW bukan seorang yang
memiliki perilaku dan perkataan yang keji. Nabi SAW bersabda,
“Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik akhlak (budi pekertinya).” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
B. KEJUJURAN MEMBAWA KEBAIKAN
حَدِيثُ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ/ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ / إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى
الْبِرِّ/ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَصْدُقُ /حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا /وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى
الْفُجُورِ /وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ /حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. (أخررجه البخارى
فى كتاب الأدب)
1. Terjemahan Hadis:
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata
bahwa Nabi SAW bersabda, / ”Sesungguhnya benar (jujur) itu menuntun
kepada kebaikan, / dan kebaikan itu menuntun ke surga, / dan seseorang
itu berlaku benar / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang
siddiq (yang sangat jujur dan benar). / Dan dusta menuntun kepada
curang, / dan curang itu menuntun ke dalam neraka. / Dan seorang yang
berdusta / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta”.
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Tatakrama”)
Biografi Perawi
Abdullah
Ibn Mas’ud Ibn Gafil Ibn Habib Al-Hadly, nama kunyah-nya adalah Abu
Abdurrahman. Ia masuk Islam di Mekkah, pernah hijrah ke Habsyi kemudian
hijrah ke Madinah, dan menyaksikan Perang Badar, Bay’ah Ar-Ridlwan,
serta pernah shalat menghadap dua kiblat.
Rasulullah SAW
menghormatinya dan memberikan kabar gembira dengan sabdanya bahwa beliau
SAW rida terhadap apa-apa yang diridhai Ibnu Ummu Abd (Abdullah Ibn
Mas’ud) dan membenci apa-apa yang dibencinya.
Pada masa Khalifah Umar
Ibn Khattab dan Utsman, ia menjadi qadhi di Kuffah dan penanggung jawab
bait al-mal, kemudian kembali ke Madinah dan meninggal di Kuffah pada
tahun 32 H, dalam usia lebih dari 60 tahun.
Ia telah meriwayatkan 848
hadis. Sebanyak 40 hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Imam
Bukhari sendiri dalam 21 hadis, dan Muslim sendiri dalam 35 hadis.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Sebagaimana
diterangkan di atas bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan
kepada orang yang jujur, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Ia akan
dimasukkan ke dalam surga dan mendapat gelar yang sangat terhormat,
yaitu siddiq, artinya orang yang sangat jujur dan benar. Bahkan dalam
Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang selalu jujur dan selalu
menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertaqwa :
Artinya:
“Orang-orang
yang dating menyampaikan kebenaran dan melakukannya (kebenaran itu),
mereka itulah orang-orang yang taqwa.” (Q.S. Az-Zumar: 33)
Hal
itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur dan dipastikan tidak
akan berkhianat kepada siapa saja, baik kepada Allah SWT, sesama
manusia, maupun dirinya sendiri. Orang yang jujur akan melaksanakan
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengikuti
segala Sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan janjinya kepada
Allah ketika mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Sebenarnya, Allah
SWT telah memperingati kepada hambanya agar berhati-hati dalam setiap
ucapan dan perbuatan karena setiap orang selalu diawasi dan dicatat
segala gerak-geriknya oleh malaikat Rakib dan “Atid. Allah berfirman :
Artinya :
“Tiada menyatakan sepatah kata pun, melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat (malaikat Raqid Atid)” (Q.S. Qaf: 18)
Oleh
karena itu, setiap orang beriman hendaklah tidak asal bicara apalagi
terhadap sesuatu yang belum jelas dan belum ia ketahui kebenarannya
secara pasti. Allah SWT berfirman:
“Janganlah mengikuti pembicaraan apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Jika
seseorang berusaha untuk berkata benar, manfaatnya bukan hanya bagi
dirinya tetapi juga bagi orang lain. Begitu pun sebaliknya, jika
seseorang berkata dusta perbuatannya itu selain merugikan dirinya, juga
merugikan orang lain karena tidak akan ada lagi orang yang mempercainya.
Padahal kepercayaan merupakan salah satu moal utama dalam menempuh
kehidupan di dunia. Tanpa kepercayaan seseorang sulit menemukan
kesuksesan, bahkan tidak mustahil hidupnya akan cepat hancur. Hal itu
telah digariskan dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Sungguh celaka orang-orang yang suka berdusta.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 10)
C. ORANG YANG JUJUR MENDAPAT PERTOLONGAN ALLAH
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ /مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ /يُرِيدُ
أَدَاءَهَا /أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ /وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا
/أَتْلَفَهُ اللَّهُ.(رواه البخارى و إبن ماجه وغير هما)
1. Terjemahan Hadis
“Abu
Hurairah r.a, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang
menggunakan harta orang lain (untuk berdagang) / dan dia ingin
mengembalikannya, / maka Allah akan (membantu) mengembalikannnya./ Dan
barang siapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya / Allah pun
akan merusaknya.”
(H.R. Bukhari, Ibnu Majah, dan selainnya)
Biografi Perawi
Nama
lengkap Abu Hurairah Ad-Dawsy menurut Hisyam Ibn Al-Kalbi adalah Umam
Ibn Amir Ibn Dzi As-Sarri Ibn Tharrif Ibn Iyan Ibn Abi Sha’b Ibn Hunaid
Ibn Tsa’labah Ibn Sulaiman Ibn Fahn Ibn Ghanan Ibn Daws.
Pada masa
Jahiliyah, ia bernama Abd Syams dengan kunyah-nya Abu Aswad. Kemudian
Rasulullah SAW memberi nama Abdullah, dan kunyah-nya Abu Hurairah. Ini
berkaitan dengan kucing, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abd Al-Birr
bahwa Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari aku membawa kucing dalan
suatu yang tertutup dan Nabi SAW melihatku dan menanyakan apa yang
kubawa. Aku pun menjawab “kucing”, kemudian Nabi SAW. Memanggilku, “ya,
Abu Hurairah”) Ibunya bernama Maemunah Binti Syahr.
Abu Hurairah
menerima hadits dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Al-Fadl, Abbas Ibn Abd.
Al-Muthalib, Aisyah, dan lain-lain. Adapun orang-orang yang menerima
riwayat darinya adalah : putranya, Al-Muharrar, Ibn Abbas, Ibn Umar,
Anas, Sa’id Ibn Al-Musyyab, Abu Salamah Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Awf.
Menurut Al-Bukhari, mereka yang menerima riwayat darinya mencapai 800
orang lebih. Semuanya merupakan ahli ilmu, baik dari kalangan sahabat
maupun tabi’in.
Abu Hurairah masuk islam pada tahun Khaibar, yaitu
pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijrah. Al-A’raj berkata. “Abu
Hurairah adalah seorang sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW.
Abu Hurairah termasuk sahabat yang paling banyak
hafal hadits Nabi. Tidak ada sahabat lain yang menyamainya dari segi
jumlahnya. Ia meriwayatkan tidak kurang dari 5.374 hadis. Tiga ratus
hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dan Imam Al-Bukhari sendiri
dalam 73 hadis.
Ibnu Umaiyah dari Hisyan Ibn Urwah berkata, “Abu
Hurairah meninggal pada tahun Siti Aisyah meninggal, yakni tahun 57 H.”
hal itu dikemukakan pula oleh Khalifah, Amr Ibn Ali, Abu Bakar dan
jamaah, Damrah Ibn Rabi’ah, dan Hitsam Ibn Abdi pun berpendapat
demikian. Abu Masyar berkata bahwa ia meninggal pada tahun 58 H Abu
Hurairah dikuburkan di Baqi dekat kuburan Asqalam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Dalam
kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau
barang kepada orang lain untuk digunakan sebagai penunjang usahanya. Hal
itu dibolehkan dalam Islam dan Allah SWT akan menolong mereka kalau
mereka berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan
berniat untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
Peminjam tidak berniat
menipu pemilik modal dengan menggunakan uang yang dipinjamnya untuk
berfoya-foya sehingga uang tersebut habis begitu saja dan ia sendiri
tidak memiliki uang untuk menggantinya. Hal itu merugikan pemilik modal
karena akan menghentikan usahanya, yang sangat penting untuk membiayai
keluarganya.
Oleh karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat
bahwa harta tersebut adalah amanat yang dipercayakan oleh pemiliknya
kepadanya. Dalam Islam umatnya selalu diingatkan untuk menjaga amanat
yang dipercayakan kepadanya dan mengambalikan amanat tersebut kepada
pemiliknya, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu semua agar memenuhi amanat kepada yang berhak menerimanya. (Q.S. An-Nisa: 58)
Begitu
pula, seorang peminjam modal, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk
menjaga kepercayaan yang diraihnya tersebut dengan cara mengembalikan
modal yang dipinjamnya pada waktu yang telah disepakati. Jika ia berbuat
demikian, pemilik modal akan semakin mempercayainya. Ini berarti, jika
ia memerlukan modal lagi, ia tidak akan mengalami kesulitan.
Selain
akan mendapat predikat shiddiq, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan
terdahulu, ia juga akan dimudahkan oleh Allah SWT. Dalam setiap
usahanya, terutama dalam usahanya untuk mengembalikan modal yang
dimanfaatkan kepadanya.
Sebailknya, apabila dia bermaksud berkhianat,
yakni meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau sengaja
tidak akan mengembalikannya Allah SWT akan membalas perbuatan zalim
tersebut, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Dan janganlah
sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang
diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi
tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak”. (QS. Ibrahim: 42)
Hal itu menunjukkan bahwa penuaian
suatu amanah sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapaun
khianat (tidak menuaikan amanah) telah disepakati sebagai perbuatan
tercela, baik dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia.
Hal itu
karena khianat akan merugikan diri si pengkhianat sendiri dan orang
lain. Apalagi bagi seorang pemimpin atau wakil rakyat yang memiliki
tanggung jawab besar untuk melaksanakan amanat dengan baik. Setiap
jabatan adalah amanat dari rakyat dan hakikatnya dari Allah SWT, maka
seharusnya orang yang dipercayakan memegang suatu jabatan harus
melakukan berbagai ketentuan yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi
rakyat, bukan sebaliknya justru mementingkan diri sendiri, lupa diri,
dan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepadanya.
Tentu
saja, amanat bukan saja dimonopoli para pemimpin, sebab bila merujuk
kepada Al-Qur’an, khianat terbagi kepada dua bagian, yaitu khianat
terhadap Khalik (Allah dan Rasulnya) dan khianat terhadap makhluk.
Berkhianat
kepada Allah adalah meninggalkan perintah-Nya dan melaksanakan
larangan-Nya, sedangkan berkhianat kepada Rasul-Nya adalah meninggalkan
Sunnah-Nya. Adapun yang dimaksud mengkhianati amanat sesama manusia
adalah mengingkari atau meninggalkan suatau kesepakatan atau amanat yang
telah diterima dan disepakati bersama atau mungkin melaksanakannya,
tetapi tidak sempurna.
Dengan demikian, setiap orang berpotensi untuk
menjadi pengkhianat, bahkan mungkin sekarang ini, kita termasuk para
para pengkhianat, baik kepada Allah SWT, Rasulullah SAW maupun sesama
manusia.
Menurut Dr. Faruq Humadah, berbuat zalim (aniaya) kepada
orang lain termasuk salah satu bentuk khianat karena zalim, sebagaimana
khianat, membahayakan dan mendatangkan kesengsaraan kepada manusia.
Ridho
1) Sifat ridha adalah sifat makrifah dan mahabbah kepada Allah s.w.t.
2)
Pengertian ridha ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan
oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau
sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t.
3) Ridha terhadap Allah s.w.t terbagi menjadi dua :
* Ridha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
* Ridha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Ridha Menerima hukum Allah s.w.t. :
Ridha
menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi dari
kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t.
karena menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan
tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh
dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima
syari’at yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar
dari mahabbah karena cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan
yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
”
Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga
mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka
perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit
dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah
dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
”
Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan
Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah
bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami karunianya
,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada
dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib atau pun
yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan ridha.
Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi
dengan lapang dada .
Itulah sifat ridha dengan hukum-hukum Allah
s.w.t. Ridha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik
atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah
s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian
itu karena sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada
orang-orang yang dibenci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah
s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebagian urusan kamu, Tetapi Allah
mengetahui apa yang tidak mereka ketahui ”. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata
mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka
ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak ridha dan bersifat
pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh
ridha dan yang tidak ridha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati
yang ridha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak ridha
itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada’ :
Ridha dengan
qada’ yaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah
s.w.t baik berupa nikmat atau pun berupa musibah ( malapetaka ). Di
dalam hadisth diungkapkan bahwa di antara orang yang pertama memasuki
syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. yaitu mereka memuji
Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah atau pun dalam keadaan
senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperoleh kegembiraan, Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.
Perintah ridha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan di dalam hadisth Baginda yang lain yang bermaksud :
”
Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika
aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya.
Melainkan hendaklah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang
ia suka , ia perbuat ! ” Karena sesungguhnya perkataan : andaikata… itu
memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)
Sikap ridha
dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat
kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua
pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahwa
sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang
layak bagi Dirinya karena bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang
Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada
pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling
baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan
dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
”
Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu
ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandung kebaikan baginya. Dan
tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin. Jika ia memperoleh
kegembiraan dia berterima kasih berarti kebaikan baginya , dan jika ia
ditimpa kesulitan dia bersabar berarti kebaikan pula baginya “.
( Riwayat Muslim )
Zakat Fitrah
Diantara dalil yang menganjurkan untuk menunaikan zakat fitrah adalah :
1. Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat" (Al-A'la: 14-15)
2. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :
"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah
bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak
dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat
fituah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat 'Id
(hari Raya) " (Muttafaq 'Alaih)
Setiap muslim wajib membayar zakat
fitrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu
sha' (+- 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya. Zakat
tersebut wajib baginya jika masih memiliki sisa makanan untuk diri dan
keluarganya selama sehari semalam.
Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun
waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat 'Id, boleh
juga sehari atau dua lari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan
mengeluaran zakat fitrah setelah hari Raya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu
'anhu :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan
zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan
ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.
"Barangsiapa
yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id, maka zakatnya diterima, dan
barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id maka ia adalah
sedekah biasa. "(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
(Dan diriwayatkan pula Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari.)
Zakat
fitrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya(*),(*)'''
Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan bahwa zakat
fithrah adalah dari limajenis makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan
inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan
bahwa yang dimaksud adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat
yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa
pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam juga terdapat nilai tukar
(uang), dan seandainya dibolehkan tentu beliau memerintahkan
mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi beliau tidak
melakukannya. Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar
adalah Madzhab Hanafi.
Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi jamaah (sekelompok
manusia) memberikan jatah seseorang, demikian pula seseorang boleh
memberikan jatah orang banyak.
Zakat fitrah tidak boleh diberikan
kecuali hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib
dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam 'Id. Barangsiapa
meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri
dan keluarganya, pen.) sebelum terbenamnya matahari, maka dia tidak
wajib membayar zakat fitrah. Tetapi jika ia mengalaminya seusai terbenam
matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia belum terlepas dari
tanggungan membayar fitrah).
HIKMAH DISYARI'ATKANNYA ZAKAT FITRAH
Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitrah adalah :
a. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.
b.
Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik
kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk
beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah
nikmat-Nya.
c. Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang
yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad
Ila Ma'rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa'di, hlm.
37. )
d. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung
dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas, yaitu puasa
merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan
perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan
kepada fakir miskin.
Ya Allah terimalah shalat· kami, zakat dan
puasa kami serta segala bentuk ibadah kami sesungguhnya Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya. Amin.
Label: MATERI KELAS X