Wednesday, 11 April 2012
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".
Kata "ijtinab" bukan bermakna "tidak melakukan sesuatu [kemaksiatan]",
namun ia bermakna "tidak mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang
dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan
[kemaksiatan]". Dengan berlaku seperti itu, seorang
individu muslim dapat membentengi dirinya dari godaan nafsu dan
kemaksiatan.
Ayat-ayat yang mulia tadi menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing
individu umat Islam sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat
tadi memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus
diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan
langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh
yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Seandainya manusia diciptakan
sebagai makhluk "mekanik" tanpa dibekali kemampuan untuk melakukan
pilihan pribadi, niscaya manusia akan terbebaskan dari beban untuk
menentukan pilihan langkah itu.
Beban berat manusia timbul dari sikap arogansinya karena memiliki
kemampuan lebih dari sekalian makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia
itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya kemampuan untuk
menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di
hadapannya.
Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai
makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan
kemampuan untuk melakukan pilihan. Dan puas menjadi makhluk yang
mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT
baginya. Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". Al
Ahzaab: 72.
Manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang
kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat
menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-makhluk yang
menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah
seperti ini.
Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis
berdasarkan kehendak Allah, dan terbebas dari kesalahan melakukan
pilihan bagi dirinya. Kemudian, ayat-ayat tadi memberikan informasi yang
menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah
melakukan pilihan yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan
Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya penerang baginya
yang menuntutnya dalam mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan
baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya
atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.
Allah SWT berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari
faktor-faktor yang dapat mendekatkan dirinya dari dosa-dosa besar,
niscaya Allah SWT akan memberikan balasan bagi tindakannya itu dengan
menganugerahkannya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa kecilnya.
Seluruh berita tadi memberikan ketenangan bagi jiwa manusia, sehingga ia
tidak berputus asa saat ia terlanjur melakukan pilihan yang bodoh dan
melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Di sini, Allah SWT
menjelaskan bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku mengetahui bahwa
engkau lemah, karena engkau menghadapi pilihan dua titian jalan, kedua
titian jalan itu menggodamu untuk memilih salah satunya. Yaitu titian
jalan taklif 'beban' Allah yang mengandung kebaikan bagimu, dan pahala
yang menunggu di ujung jalan itu. Hal ini menggoda dan mendorongmu untuk
meniti jalan ini. Dan ada titian jalan syahwat dan kenikmatan yang
instan. Ini juga menggodamu untuk memilihnya".
Ketika kedua jalan itu saling tarik menarik dalam diri manusia, maka
saat itulah timbul kelemahan dalam dirinya. Oleh karena itulah Allah SWT
menjelaskan: "Aku memaklumi apa yang terjadi pada dirimu itu, karena
hal itu adalah hasil logis akibat adanya potensi pilihan bebas yang
engkau miliki itu. Dan Aku-lah yang telah memberikan potensi itu
kepadamu".
Allah SWT saat menganugerahkan kepada manusia, sang makhluk yang
berkuasa atas makhluk lain di dunia ini, potensi untuk melakukan pilihan
bebas itu; akan amat senang jika manusia datang dan bersimpuh di
hadapan Rabb-nya dengan sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya. Karena
terdapat perbedaan secara diametral antara makhluk yang telah diprogram
untuk tunduk kepada Allah SWT dan berjalan mengalir sesuai ketetapan
yang telah dibuat oleh Allah SWT; sehingga makhluk seperti ini tidak
diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan makhluk yang diberikan
pilihan bebas untuk tunduk atau tidak, dan untuk taat dan tidak. Oleh
karena itu, dengan potensi kemampuan manusia untuk melakukan pilihan
bebas itu, Allah SWT menghendaki manusia untuk tunduk kepada-Nya sesuai
dengan kehendak hatinya secara jujur, dan memilih untuk taat kepada
Allah SWT dengan dorongan keimanannya itu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".
Di sini, seakan-akan Allah SWT menjelaskan tentang beban-beban hukum
yang telah diembankan-Nya kepada manusia; seperti menjaga diri dari
mencemarkan nama baik orang lain, menjaga diri dari memakan harta orang
lain dengan cara yang diharamkan, menjaga diri dari membunuh manusia
dan sebagainya; dengan penjelasan sebagai berikut: "Saat menghadapi
suatu kenyataan yang mengecewakan [seperti terlanjur mengerjakan suatu
dosa kecil, misalnya], hendaknya kalian tidak bersikap putus asa,
karena Aku akan menutupi dosa-dosa kecil kalian jika kalian
meninggalkan dosa-dosa besar: ibadah shalat ke ibadah shalat yang lain
adalah menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di
antara keduanya, shalat jum'at ke shalat jum'at yang berikutnya menjadi
penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara kedua
masa itu, dan dari satu ibadah puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya
menjadi penghapus bagi dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan pada
masa di antara keduanya. Namun dengan syarat kalian tidak terus menerus
melakukan dosa-dosa kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau melakukan
sesuatu perbuatan dosa kecil, bayangkanlah jika tiba-tiba engkau
meninggal dunia sebelum sempat beristighfar dan bertaubat atas dosa
itu. Oleh karena itu, janganlah engkau berkata: "aku akan lakukan dosa
[kecil ini] dan nantinya aku akan beristighfar dan bertaubat". Hal itu
tidak terjamin dapat dilakukan olehmu, pada saat yang sama engkau juga
seperti sedang mengejek Tuhan-mu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil)"... yakni dosa-dosa kecil, Allah SWT berfirman:
"niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)".
Dan seperti telah kami katakan: pengertian kata "al kufr" adalah "as
satru" 'penutup', artinya Allah SWT akan menutupi dosa-dosa kecil itu.
Dan makna Kami akan menutupinya artinya, Kami tidak akan memberikan
hukuman atasnya. Istilah "takfiir" bermakna menghilangkan siksa atasnya.
Sedangkan istilah "ihbaath" bermakna menghilangkan dan menggugurkan
pahalannya.
Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil yang membuat dia
berhak dijatuhi hukuman, namun ia meninggalkan dosa-dosa besar, maka
Allah SWT akan menutupi dan menghapuskan hukuman itu dari dirinya.
Sedangkan jika seseorang melakukan amal kebaikan, namun Allah SWT tidak
menerima amalnya itu, maka berarti Allah SWT tidak memberikan pahala
atas amal itu kepadanya. Dengan demikian, istilah "takfiir" --seperti
telah kami katakan tadi-- adalah menghilangkan hukuman. Sementara
istilah "ihbaath" bermakna: menghilangkan balasan pahala. Seperti
terdapat dalam firman Allah SWT.
"Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya". (Al Baqarah: 217).
Artinya, mereka tidak mendapatkan pahala atas amal kebaikan yang mereka
lakukan itu; karena saat mereka mengerjakan amal kebaikan itu, mereka
tidak meniatkannya untuk Allah SWT, Yang akan memberikan pahala atas
amal mereka itu. Namun mereka meniatkannya untuk mendapatkan pujian dari
manusia. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda:
"Engkau mengerjakan amal perbuatan itu untuk mendapatkan pujian
manusia, dan pujian itu pun telah engkau dapatkan [sehingga engkau tidak
lagi berhak mendapatkan pahala dari Allah SWT]".
Engkau mengerjakan amal kebaikan itu untuk mendapatkan pujian manusia,
dan pujian itu telah engkau dapatkan. Misalnya masyarakat memuji:
"engkau adalah orang yang amat dermawan". Atau mereka berkata: "hebat
sekali, engkau telah membangun masjid". Dan mereka juga membaca spanduk
yang tertulis saat peresmian masjid itu, bahwa engkaulah yang telah
menyumbang bagi pembangunan masjid itu.
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". (Al Furqaan: 23).
Engkau melakukan suatu amal kebaikan hanya semata untuk mendapatkan
pujian manusia, dan pujian itu telah engkau dapatkan [sehingga tidak
berhak lagi mendapatkan pahala dari Allah SWT]; oleh karena itu, orang
yang menulis namanya besar-besar di masjid itu, hendaknya memperhatikan
hal ini. Dan bagi orang yang ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT,
hendaknya segera menghapus namanya itu, sehingga harapannya untuk
mendapatkan pahala dari Allah SWT dapat terwujud. Karena Allah SWT amat
senang jika orang yang memberikan derma atau shadaqah, bertindak sesuai
dengan sabda Rasulullah Saw tentang tujuh macam orang yang mendapatkan
naungan Allah SWT pada hari kiamat nanti, saat tidak ada naungan
selain naungan Allah SWT, di antara mereka adalah:
"Seseorang yang memberikan sadaqah dengan cara sembunyi, sehingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disadaqahkan oleh tangan
kanannya itu".
Saat engkau memberikan shadaqah kepada seseorang, mengapa engkau perlu
membuka identitas diri orang yang menerima derma dan shadaqahmu itu?.
Sementara Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi". kata "ijtinaab"
bermakna: memberikan sesuatu dari samping [dengan tidak mencolok]. Dan
yang dimaksud dengan redaksional: "in tajtanibuu" bermakna: jika kalian
menjauhkan diri kalian. Dan saat Allah SWT memerintahkan engkau agar
tidak melakukan sesuatu perbuatan, kemudian perintah itu disampaikan
dalam bentuk yang lain, yakni dengan perintah agar menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang itu, hal ini menunjukkan bahwa tekanan larangan
itu menjadi lebih besar. Karena perintah untuk menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang itu bermakna engkau diperintahkan untuk tidak
berada di tempat yang sama dengan sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan
itu.
Saat Allah SWT berfirman: "maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu". (Al Hajj: 30)
dan saat Allah SWT berfirman:
"dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". Al Hajj: 30)
Perintah "ijtanibuu" dalam ayat itu bermakna: menjauhlah darinya.
Mengapa? Karena batasan-batasan Allah SWT yang tidak boleh dilanggar
adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.
Rasulullah Saw bersabda:
"Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara
keduanya adalah perkara-perkara yang syubhat [yang tidak jelas] yang
tidak diketahui oleh [hakikat hukumnya] oleh banyak manusia. Maka orang
yang menghindarkan diri dari perkara yang syubhat, berarti ia telah
menjaga nama baiknya dan agamanya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara
yang syubhat, maka ia dipastikan akan segera jatuh dalam keharaman.
Perumpamaannya adalah seperti seseorang yang menggembala di pinggir
kebun, ia amat dekat untuk memasuki kebun itu. Dan setiap kerajaan
memiliki batas-batas yang tidak boleh dilangkahi, dan batas-batas Allah
SWT di atas permukaan bumi ini adalah apa-apa yang diharamkan-Nya".
dan Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan". (Al Maaidah: 90).
Cara penjauhan diri dari perbuatan yang dilarang itu adalah dengan tidak
menempatkan diri dalam satu tempat bersama dengan sesuatu yang
dilarang itu, karena dikhawatirkan akan mendorongmu untuk
memikirkannya, menganggu konsentrasimu dan hal itu akan
terbayang-bayang dalam pikiranmu. Misalnya saat engkau berada di tempat
orang minum minuman keras, saat itu Allah SWT memerintahkan kepadamu:
jauhilah tempat itu.
Artinya: jangan dekati tempat itu. Karena jika engkau berada di tempat
orang minum minuman keras itu, dan engkau melihat orang yang sedang
minum itu tampak gembira dan amat menikmati minumannya, hal itu bisa
saja mendorongmu untuk turut meminumnya. Sedangkan jika engkau
menghindarkan diri dari minuman keras, dan tidak mendekat tempat meminum
minuman keras itu, maka engkau terjaga dari godaan-godaan seperti itu.
oleh karena itu kami katakan: perintah untuk menjauhkan diri dari
sesuatu itu, makna redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari
larangan atas sesuatu itu sendiri. Ada orang yang beralasan bahwa
minuman keras itu tidak diharamkan, dan berkata: meminum minuman keras
itu tidak pernah dilarang oleh sesuatu nash agama yang pasti!. Bagi
orang seperti ini kami menjawab: ingatlah, meminum minuman keras itu
disejajarkan dengan penyembahan berhala.
Allah SWT berfirman:
"dan jauhilah Thaghut itu". (An Nahl: 36).
Perintah untuk menjauhkan diri dari berhala itu tidak semata larangan
untuk menyembah berhala itu, namun juga berisi larangan untuk melihat
dan mendekatinya. Dengan demikian, perintah untuk menjauhkan diri dari
minuman keras itu tidak semata larangan untuk meminumnya, namun juga
perintah agar tidak mendekatinya. Kata "al kabaair" adalah bentuk plural
dari kata "kabiirah" 'dosa besar'. Dan jika ada "kabiirah" 'dosa
besar' berarti ada "shagiirah" 'dosa kecil' dan "ashgar" 'dosa paling
kecil'. Dosa yang lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar' tidak
semata "shagiirah" 'dosa kecil' saja, namun juga termasuk dosa yang
lebih kecil dari dosa kecil itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan
kekhilafan'.
Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". "as Sayyiaat"
'Dosa-dosa kecil' berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang
ringan atau yang paling ringan. Namun tentang hal ini, para ulama
memberikan catatan penting, yakni: hal itu tidak berarti Allah SWT
membolehkan manusia untuk melakukan dosa-dosa kecil itu, selama mereka
menjauhkan diri dari dosa besar. Karena perbuatan dosa kecil yang
dilakukan secara terus menerus dan dengan kesengajaan, juga termasuk
bagian dari dosa besar. Oleh karena itu jangan engkau lakukan perbuatan
dosa kecil, karena Allah SWT hanya menghapuskan dosa kecil yang
dilakukan dengan tidak sengaja atau karena kekhilafan. Oleh karena itu,
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera". (An Nisaa: 17),
yakni jika mereka mengerjakan dosa-dosa kecil itu dengan tanpa sengaja, dan karena kekhilafan semata.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya
bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18)
Dengan demikian, jika engkau melakukan dosa kecil dengan sengaja dan
secara terus menerus, maka dosa kecil itu berubah statusnya menjadi dosa
besar. Kemudian, jika kita tidak menjauhkan diri dari dosa besar, dan
kita juga melakukan dosa kecil, apa yang akan terjadi? Para ulama
berpendapat: di antara bentuk kasih sayang Allah SWT terhadap manusia
adalah ketentuan berikut ini: tidak ada istilah dosa besar selama
pelakunya melakukan taubat dan istighfar, dan tidak ada istilah dosa
kecil selama pelakunya terus melakukan perbuatan dosa kecil itu secara
sengaja.
Jika engkau mengambil hal tadi, maka ambillah dua ketentuan ini, yakni
tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan
beristighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakukan terus
melakukan perbuatan dosa itu dengan sengaja. Dan tentang definisi dosa
besar, para ulama berpendapat sebagai berikut: dosa besar adalah suatu
perbuatan yang pelakunya diberikan ancaman oleh Allah SWT akan dijatuhi
adzab di akhirat nanti, atau suatu perbuatan yang diancam akan
dikenakan hadd. Sedangkan suatu perbuatan dosa yang tidak diancam akan
dikenakan hadd, maka perbuatan itu termasuk dalam dosa kecil yang akan
diampuni jika pelakunya menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar, atau
dosa kecil, atau dosa yang paling kecil.
Tanya, “Bolehkah kita memberi penilaian pada sebuah maksiat yang dulu belum pernah ada sebagai dosa besar?”
Jawab:
Tidaklah diragukan bahwa dosa itu ada dua macam, dosa besar dan dosa kecil.
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga)” (QS an Nisa’:31).
Namun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah dosa besar. Ada yang
berpendapat tujuh, tujuh puluh dan tujuh ratus. Ada pula yang mengatakan
bahwa dosa besar adalah semua perbuatan yang dilarang dalam syariat
semua para nabi dan rasul.
Pendapat yang paling kuat tentang pengertian dosa besar adalah segala
perbuatan yang pelakunya diancam dengan api neraka, laknat atau murka
Allah di akherat atau mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama
menambahkan perbuatan yang nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau
nabi mengataan ‘bukan golongan kami’ atau nabi berlepas diri dari
pelakunya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang
menghunuskan pedang kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan golongan
kami” (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami” (HR Muslim).
Mencuri adalah perbuatan yang memiliki hukuman had yaitu potong tangan
maka muncuri adalah dosa besar. Zina juga memiliki hukuman had sehingga
termasuk dosa besar. Membunuh juga dosa besar. Namimah atau adu domba
juga dosa besar karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang
yang melakukan namimah itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari dan
Muslim).
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS an Nisa’:10). Dalam ayat
ini ada ancaman neraka bagi orang yang memakan harta anak yatim
sehingga perbuatan ini hukumnya dosa besar.
Label: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM XI