Wednesday, 11 April 2012

Dosa-dosa Besar

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota



    "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".

Kata "ijtinab" bukan bermakna "tidak melakukan sesuatu [kemaksiatan]", namun ia bermakna "tidak mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan
[kemaksiatan]". Dengan berlaku seperti itu, seorang individu muslim dapat membentengi dirinya dari godaan nafsu dan kemaksiatan.

Ayat-ayat yang mulia tadi menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tadi memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Seandainya manusia diciptakan sebagai makhluk "mekanik" tanpa dibekali kemampuan untuk melakukan pilihan pribadi, niscaya manusia akan terbebaskan dari beban untuk menentukan pilihan langkah itu.

Beban berat manusia timbul dari sikap arogansinya karena memiliki kemampuan lebih dari sekalian makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya.

Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan. Dan puas menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya. Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:

    "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". Al Ahzaab: 72.

Manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.

Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Kemudian, ayat-ayat tadi memberikan informasi yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya penerang baginya yang menuntutnya dalam mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.

Allah SWT berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat mendekatkan dirinya dari dosa-dosa besar, niscaya Allah SWT akan memberikan balasan bagi tindakannya itu dengan menganugerahkannya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa kecilnya. Seluruh berita tadi memberikan ketenangan bagi jiwa manusia, sehingga ia tidak berputus asa saat ia terlanjur melakukan pilihan yang bodoh dan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Di sini, Allah SWT menjelaskan bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku mengetahui bahwa engkau lemah, karena engkau menghadapi pilihan dua titian jalan, kedua titian jalan itu menggodamu untuk memilih salah satunya. Yaitu titian jalan taklif 'beban' Allah yang mengandung kebaikan bagimu, dan pahala yang menunggu di ujung jalan itu. Hal ini menggoda dan mendorongmu untuk meniti jalan ini. Dan ada titian jalan syahwat dan kenikmatan yang instan. Ini juga menggodamu untuk memilihnya".

Ketika kedua jalan itu saling tarik menarik dalam diri manusia, maka saat itulah timbul kelemahan dalam dirinya. Oleh karena itulah Allah SWT menjelaskan: "Aku memaklumi apa yang terjadi pada dirimu itu, karena hal itu adalah hasil logis akibat adanya potensi pilihan bebas yang engkau miliki itu. Dan Aku-lah yang telah memberikan potensi itu kepadamu".

Allah SWT saat menganugerahkan kepada manusia, sang makhluk yang berkuasa atas makhluk lain di dunia ini, potensi untuk melakukan pilihan bebas itu; akan amat senang jika manusia datang dan bersimpuh di hadapan Rabb-nya dengan sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya. Karena terdapat perbedaan secara diametral antara makhluk yang telah diprogram untuk tunduk kepada Allah SWT dan berjalan mengalir sesuai ketetapan yang telah dibuat oleh Allah SWT; sehingga makhluk seperti ini tidak diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan makhluk yang diberikan pilihan bebas untuk tunduk atau tidak, dan untuk taat dan tidak. Oleh karena itu, dengan potensi kemampuan manusia untuk melakukan pilihan bebas itu, Allah SWT menghendaki manusia untuk tunduk kepada-Nya sesuai dengan kehendak hatinya secara jujur, dan memilih untuk taat kepada Allah SWT dengan dorongan keimanannya itu.

    "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".

Di sini, seakan-akan Allah SWT menjelaskan tentang beban-beban hukum yang telah diembankan-Nya kepada manusia; seperti menjaga diri dari mencemarkan nama baik orang lain, menjaga diri dari memakan harta orang lain dengan cara yang diharamkan, menjaga diri dari membunuh manusia dan sebagainya; dengan penjelasan sebagai berikut: "Saat menghadapi suatu kenyataan yang mengecewakan [seperti terlanjur mengerjakan suatu dosa kecil, misalnya], hendaknya kalian tidak bersikap putus asa, karena Aku akan menutupi dosa-dosa kecil kalian jika kalian meninggalkan dosa-dosa besar: ibadah shalat ke ibadah shalat yang lain adalah menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara keduanya, shalat jum'at ke shalat jum'at yang berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara kedua masa itu, dan dari satu ibadah puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi penghapus bagi dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan pada masa di antara keduanya. Namun dengan syarat kalian tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil, bayangkanlah jika tiba-tiba engkau meninggal dunia sebelum sempat beristighfar dan bertaubat atas dosa itu. Oleh karena itu, janganlah engkau berkata: "aku akan lakukan dosa [kecil ini] dan nantinya aku akan beristighfar dan bertaubat". Hal itu tidak terjamin dapat dilakukan olehmu, pada saat yang sama engkau juga seperti sedang mengejek Tuhan-mu.

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)"... yakni dosa-dosa kecil, Allah SWT berfirman: "niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". Dan seperti telah kami katakan: pengertian kata "al kufr" adalah "as satru" 'penutup', artinya Allah SWT akan menutupi dosa-dosa kecil itu. Dan makna Kami akan menutupinya artinya, Kami tidak akan memberikan hukuman atasnya. Istilah "takfiir" bermakna menghilangkan siksa atasnya. Sedangkan istilah "ihbaath" bermakna menghilangkan dan menggugurkan pahalannya.

Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil yang membuat dia berhak dijatuhi hukuman, namun ia meninggalkan dosa-dosa besar, maka Allah SWT akan menutupi dan menghapuskan hukuman itu dari dirinya. Sedangkan jika seseorang melakukan amal kebaikan, namun Allah SWT tidak menerima amalnya itu, maka berarti Allah SWT tidak memberikan pahala atas amal itu kepadanya. Dengan demikian, istilah "takfiir" --seperti telah kami katakan tadi-- adalah menghilangkan hukuman. Sementara istilah "ihbaath" bermakna: menghilangkan balasan pahala. Seperti terdapat dalam firman Allah SWT.

    "Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya". (Al Baqarah: 217).

Artinya, mereka tidak mendapatkan pahala atas amal kebaikan yang mereka lakukan itu; karena saat mereka mengerjakan amal kebaikan itu, mereka tidak meniatkannya untuk Allah SWT, Yang akan memberikan pahala atas amal mereka itu. Namun mereka meniatkannya untuk mendapatkan pujian dari manusia. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda:

    "Engkau mengerjakan amal perbuatan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu pun telah engkau dapatkan [sehingga engkau tidak lagi berhak mendapatkan pahala dari Allah SWT]".

Engkau mengerjakan amal kebaikan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah engkau dapatkan. Misalnya masyarakat memuji: "engkau adalah orang yang amat dermawan". Atau mereka berkata: "hebat sekali, engkau telah membangun masjid". Dan mereka juga membaca spanduk yang tertulis saat peresmian masjid itu, bahwa engkaulah yang telah menyumbang bagi pembangunan masjid itu.

Allah SWT berfirman:

    "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". (Al Furqaan: 23).

Engkau melakukan suatu amal kebaikan hanya semata untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah engkau dapatkan [sehingga tidak berhak lagi mendapatkan pahala dari Allah SWT]; oleh karena itu, orang yang menulis namanya besar-besar di masjid itu, hendaknya memperhatikan hal ini. Dan bagi orang yang ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT, hendaknya segera menghapus namanya itu, sehingga harapannya untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT dapat terwujud. Karena Allah SWT amat senang jika orang yang memberikan derma atau shadaqah, bertindak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw tentang tujuh macam orang yang mendapatkan naungan Allah SWT pada hari kiamat nanti, saat tidak ada naungan selain naungan Allah SWT, di antara mereka adalah:

    "Seseorang yang memberikan sadaqah dengan cara sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disadaqahkan oleh tangan kanannya itu".

Saat engkau memberikan shadaqah kepada seseorang, mengapa engkau perlu membuka identitas diri orang yang menerima derma dan shadaqahmu itu?.

Sementara Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi". kata "ijtinaab" bermakna: memberikan sesuatu dari samping [dengan tidak mencolok]. Dan yang dimaksud dengan redaksional: "in tajtanibuu" bermakna: jika kalian menjauhkan diri kalian. Dan saat Allah SWT memerintahkan engkau agar tidak melakukan sesuatu perbuatan, kemudian perintah itu disampaikan dalam bentuk yang lain, yakni dengan perintah agar menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu, hal ini menunjukkan bahwa tekanan larangan itu menjadi lebih besar. Karena perintah untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu bermakna engkau diperintahkan untuk tidak berada di tempat yang sama dengan sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan itu.

    Saat Allah SWT berfirman: "maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu". (Al Hajj: 30)

dan saat Allah SWT berfirman:

    "dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". Al Hajj: 30)

Perintah "ijtanibuu" dalam ayat itu bermakna: menjauhlah darinya. Mengapa? Karena batasan-batasan Allah SWT yang tidak boleh dilanggar adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.

Rasulullah Saw bersabda:

    "Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya adalah perkara-perkara yang syubhat [yang tidak jelas] yang tidak diketahui oleh [hakikat hukumnya] oleh banyak manusia. Maka orang yang menghindarkan diri dari perkara yang syubhat, berarti ia telah menjaga nama baiknya dan agamanya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara yang syubhat, maka ia dipastikan akan segera jatuh dalam keharaman. Perumpamaannya adalah seperti seseorang yang menggembala di pinggir kebun, ia amat dekat untuk memasuki kebun itu. Dan setiap kerajaan memiliki batas-batas yang tidak boleh dilangkahi, dan batas-batas Allah SWT di atas permukaan bumi ini adalah apa-apa yang diharamkan-Nya".

dan Allah SWT berfirman:

    "Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).

Cara penjauhan diri dari perbuatan yang dilarang itu adalah dengan tidak menempatkan diri dalam satu tempat bersama dengan sesuatu yang dilarang itu, karena dikhawatirkan akan mendorongmu untuk memikirkannya, menganggu konsentrasimu dan hal itu akan terbayang-bayang dalam pikiranmu. Misalnya saat engkau berada di tempat orang minum minuman keras, saat itu Allah SWT memerintahkan kepadamu: jauhilah tempat itu.

Artinya: jangan dekati tempat itu. Karena jika engkau berada di tempat orang minum minuman keras itu, dan engkau melihat orang yang sedang minum itu tampak gembira dan amat menikmati minumannya, hal itu bisa saja mendorongmu untuk turut meminumnya. Sedangkan jika engkau menghindarkan diri dari minuman keras, dan tidak mendekat tempat meminum minuman keras itu, maka engkau terjaga dari godaan-godaan seperti itu. oleh karena itu kami katakan: perintah untuk menjauhkan diri dari sesuatu itu, makna redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari larangan atas sesuatu itu sendiri. Ada orang yang beralasan bahwa minuman keras itu tidak diharamkan, dan berkata: meminum minuman keras itu tidak pernah dilarang oleh sesuatu nash agama yang pasti!. Bagi orang seperti ini kami menjawab: ingatlah, meminum minuman keras itu disejajarkan dengan penyembahan berhala.

Allah SWT berfirman:

    "dan jauhilah Thaghut itu". (An Nahl: 36).

Perintah untuk menjauhkan diri dari berhala itu tidak semata larangan untuk menyembah berhala itu, namun juga berisi larangan untuk melihat dan mendekatinya. Dengan demikian, perintah untuk menjauhkan diri dari minuman keras itu tidak semata larangan untuk meminumnya, namun juga perintah agar tidak mendekatinya. Kata "al kabaair" adalah bentuk plural dari kata "kabiirah" 'dosa besar'. Dan jika ada "kabiirah" 'dosa besar' berarti ada "shagiirah" 'dosa kecil' dan "ashgar" 'dosa paling kecil'. Dosa yang lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar' tidak semata "shagiirah" 'dosa kecil' saja, namun juga termasuk dosa yang lebih kecil dari dosa kecil itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan kekhilafan'.

Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". "as Sayyiaat" 'Dosa-dosa kecil' berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang ringan atau yang paling ringan. Namun tentang hal ini, para ulama memberikan catatan penting, yakni: hal itu tidak berarti Allah SWT membolehkan manusia untuk melakukan dosa-dosa kecil itu, selama mereka menjauhkan diri dari dosa besar. Karena perbuatan dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dan dengan kesengajaan, juga termasuk bagian dari dosa besar. Oleh karena itu jangan engkau lakukan perbuatan dosa kecil, karena Allah SWT hanya menghapuskan dosa kecil yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena kekhilafan. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

    "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera". (An Nisaa: 17),

yakni jika mereka mengerjakan dosa-dosa kecil itu dengan tanpa sengaja, dan karena kekhilafan semata.

Selanjutnya Allah SWT berfirman:

    "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18)

Dengan demikian, jika engkau melakukan dosa kecil dengan sengaja dan secara terus menerus, maka dosa kecil itu berubah statusnya menjadi dosa besar. Kemudian, jika kita tidak menjauhkan diri dari dosa besar, dan kita juga melakukan dosa kecil, apa yang akan terjadi? Para ulama berpendapat: di antara bentuk kasih sayang Allah SWT terhadap manusia adalah ketentuan berikut ini: tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakunya terus melakukan perbuatan dosa kecil itu secara sengaja.

Jika engkau mengambil hal tadi, maka ambillah dua ketentuan ini, yakni tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan beristighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakukan terus melakukan perbuatan dosa itu dengan sengaja. Dan tentang definisi dosa besar, para ulama berpendapat sebagai berikut: dosa besar adalah suatu perbuatan yang pelakunya diberikan ancaman oleh Allah SWT akan dijatuhi adzab di akhirat nanti, atau suatu perbuatan yang diancam akan dikenakan hadd. Sedangkan suatu perbuatan dosa yang tidak diancam akan dikenakan hadd, maka perbuatan itu termasuk dalam dosa kecil yang akan diampuni jika pelakunya menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar, atau dosa kecil, atau dosa yang paling kecil.

  Tanya, “Bolehkah kita memberi penilaian pada sebuah maksiat yang dulu belum pernah ada sebagai dosa besar?”

Jawab:

Tidaklah diragukan bahwa dosa itu ada dua macam, dosa besar dan dosa kecil.


“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” (QS an Nisa’:31).

Namun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah dosa besar. Ada yang berpendapat tujuh, tujuh puluh dan tujuh ratus. Ada pula yang mengatakan bahwa dosa besar adalah semua perbuatan yang dilarang dalam syariat semua para nabi dan rasul.

Pendapat yang paling kuat tentang pengertian dosa besar adalah segala perbuatan yang pelakunya diancam dengan api neraka, laknat atau murka Allah di akherat atau mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama menambahkan perbuatan yang nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau nabi mengataan ‘bukan golongan kami’ atau nabi berlepas diri dari pelakunya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghunuskan pedang kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan golongan kami” (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami” (HR Muslim).

Mencuri adalah perbuatan yang memiliki hukuman had yaitu potong tangan maka muncuri adalah dosa besar. Zina juga memiliki hukuman had sehingga termasuk dosa besar. Membunuh juga dosa besar. Namimah atau adu domba juga dosa besar karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang melakukan namimah itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari dan Muslim).


“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS an Nisa’:10). Dalam ayat ini ada ancaman neraka bagi orang yang memakan harta anak yatim sehingga perbuatan ini hukumnya dosa besar.

cara merawat jenasah

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami
kamu dikembalikan. ( QS. Al 'Ankabuut : 57).

Ayat tersebut mempertegas bahwa kita yang hidup di dunia ini pasti akan
merasakan mati. Namun kenyataannya banyak manusia yang terbuai dengan
kehidupan dunia sehingga hampir melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, hal
ini juga membuat manusia tidak banyak yang mengingat tentang kematian.

Yang jadi permasalahan sekarang adalah, tidak ada manusia satupun yang
apabila mati kemudian berangkat sendiri menuju liang kuburnya. Tentu saja
hal ini adalah menjadi kewajiban bagi orang yang masih hidup, terutama
keluarga yang ditinggalkannya untuk mengurusnya sampai menguburkannya. 

Merawat jenazah adalah hukumnya wajib kifayah, namun setiap orang tentunya
wajib mengetahui tatacara bagaimana merawat jenazah yang sesuai dengan
tuntunan agama Islam. Karena kewajiban merawat jenazah yang pertama adalah
keluarga terdekat, apalagi kalau yang meninggal adalah orangtua atau anak
kita. Kalau kita tidak bisa merawatnya sampai menguburkannya berarti kita
tidak (birrul walidaini) berbakti kepada kedua orangtua kita.   
Rasulullah SAW telah bersabda :
" Apabila telah mati anak Adam, maka terputuslah amalnya. Kecuali tiga
perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang
mau mendo'akan kedua orangtuanya."

Disinilah kita harus menunjukkan bakti kita yang terakhir apabila orangtua
kita meninggal, yaitu dengan merawat sampai menguburkan serta mendo'akannya.

Permasalahan yang lain dan mungkin bisa saja terjadi adalah, karena ajal
bila sudah tiba saatnya, pastilah tidak bisa ditunda kapanpun dan dimanapun.
Bagaimana kalau kita seandainya sementara kita di tengah hutan belantara
jauh dari pemukiman dan kita punya teman cuma beberapa orang saja, sementara
kita tidak tahu mayat ini harus diapakan, pastilah kita akan berdosa.
 
Fenomena lain yang banyak terjadi sekarang, terutama di kota-kota besar.
Pengurusan jenazah kebanyakan tidak dilakukan oleh keluarga dekat, bahkan
keluarga tinggal terima bersih karena sudah membayar orang untuk merawatnya,
bahkan samapi mendo'akannya juga minta orang lain yang mendo'akan.

Inilah yang perlu kita pikirkan sepertinya di millist ini belum pernah ada
yang memberikan pencerahan. Mungkin diantara kita masih banyak yang belum
tahu tentang tatacara merawat jenazah dan kalaupun sudah tahu, semoga bisa
mengingatkannya kembali. Dan ini harus kita tanamkan pada diri kita
masing-masing dan juga anak-anak kita untuk jadi anak yang sholeh dan
sholehah, bila kita menghendaki kalau kita mati nanti anak kita dan keluarga
dekat kita yang merawatnya.

Jadi yang jelas pengurusan jenazah adalah menjadi kewajiban keluarga
terdekat si mayit, kalau keluarga yang terdekat tidak ada, barulah orang
muslim yang lainnya berkewajiban untuk merawatnya.

HUKUM MERAWAT JENAZAH

Hukum merawat Jenazah dalah Wajib Kifayah artinya cukup dikerjakan oleh
sebagian masyarakat , bila seluruh masyarakat  tidak ada yang merawat maka
seluruh masyarakat akan dituntut dihadapan Allah Swt.sedang bagi orang yang
mengerjakannya, mendapat pahala yang banyak.disisi Allah Swt.

SIAPA  ORANG YANG MERAWAT 
        *       Keluarga terdekat  (Ayah, Ibunya, Suami/Istrinya, Anak
putra/Putrinya, Kakak/Adiknya dst) namun sebaiknya yang sejenis pria oleh
pria wanita oleh wanita kecuali Suami / istrinya atau ayah dan ibunya.
        *       Bila Urutan tersebut di atas tidak ada baru beralih kepada
yang lain .

WAKTU PENYELENGGARAAN

Sesegera  mungkin, tidak ada keharusan menunggu berkumpulnya seluruh
kerabat.
        *       Sabda Rasullulah :
                        *       Ada 3(tiga) hal Hai Ali.. Jangan ditunda,
dilarang ditangguhkannya yaitu sholat bila telah datang waktunya, Jenazah
bila telah nyata kematiannya, dan wanita yang tidak ada suami bila telah
menemukan jodohnya.(Al Hadist)
                        *       Percepatkanlah penyelenggaraan jenazah, bila
ia seorang yang baik, perdekatkanlah kebaikannya dan bila tidak demikian,
maka kamu akan lepas kejelekannya tersebut dari bebanmu.


KAIFIAT (CARA PERAWATAN JENAZAH)

Bila telah terang, nyata, jelas ajalnya seseorang, maka segerakanlah
perawatannya, Adapun yang perlu dilakukan adalah :
        *       Pejamkan matanya.
        *       Lemaskan terutama tangan, dan kakinya diluruskan.
        *       Dikatupkan mulutnya, dengan ikatkan kain, dan lingkarkan
dagu, pelipis sampai ubun-ubun.
        *       Diutamakan ditelentangkan membujur menghadap kiblat dengan
kepala di sebelah kanan kiblat (untuk daerah Sidangoli  berarti kepala di
sebelah utara)
        *       Ditutup muka wajahnya, serta seluruh tubuhnya.
        *       Mengucapkan kalimat tarji' untuk istirja'(pasrah dengan
ikhlas dan ingat bahwa kita bersama akhirnya juga akan mengalami kematian
(Innalillahi wainna ilaihi rooji'uun (Al Baqorah Ayat 156)
        *       Mendoakannya (Allahumma ighfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu
anhu) artinya : Ya Allah semoga Alloh mengampuni , melimpahkan kasih
sayangnya, mema'afkannya serta memulyakannya, Al Hadist.
        *       Menyebarluaskan berita kematiannya kepada keluarga/ ahli
waris, kerabat dan masyarakat  lingkungannya.
        *       Mempersiapkan keperluan/perlengkapan perawatan mayat/
jenazah.
        *       Keluarga/ ahli waris segera menyelesaikan hak insani/Adam,
utang piutang, mengambil alih tanggunga jawab hingga bagi yang telah wafat
tiada lagi memiliki kewajiban. Kecuali mempertanggung jawabkan amal
perbuatannya.

HAK & KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH
        1.      Memandikannya / Mensucikannya.
        2.      Mengkafaninya/ Membungkus seluruh tubuhnya.
        3.      Mensalatkannya.
        4.      Menguburkannya.

JENAZAH YANG TIDAK MENDAPAT PERLAKUAN SEPERTI BIASA
        1.      Mati sahid  dalam peperangan tidak perlu dimandikan dan
dikafani cukup dimakamkan dengan pakaiannya yang melekat.
        2.      Mati di atas perjalanan laut, tak perlu dibawa ke darat
untuk dimakamkan apabila untuk mencapai daratan perlu waktu lama.
        3.      Mati saat Ihrom, maka kain kafannya cukup pakaian ihromnya
dan tidak boleh diberi parfum sebagaimana jenazah biasa.

MENSUCIKAN JENAZAH
Perlengkapan  yang diperlukan : 
1.              Air suci yang mensucikan yang cukup, dengan dicampuri
bau-bauan  
2.      Serbuk/larutan  kapur barus, untuk meredam bau. 
3.      Sarung tangan/ handuk tangan untuk membersihkan kotoran darah atau
najis lain. 
4.      Lidi dan sebagainya untuk membersihkan kuku. 
5.      Handuk untuk mengeringkan badan/ tubuh mayat selesai dimandikan.

CARA-CARA MEMANDIKAN MAYAT
1.              Bujurkanlah jenazah ditempat yang tertutup serta diutamakan
membujur menghadap kiblat dengan kepala di sebelah      kanan. 
2.      Lepaskanlah seluruh pakaian yang melekat dan menutup,serta pengikat
dagu dan pergelangan tangan.
3.      Tutuplah bagian auratnya sekedarnya.
4.      Lepaskan logam seperti cincin, dan gigi palsunya (Kalau ada)
5.      Bersihkan kotoran najisnya dengan didudukkan  dan meremas bagian
perutnya hingga kotorannya keluar.
6.      Bersihkan rongga mulutnya dari riak  atau darah kalau ada 
7.      Bersihkan kuku-kuku jari kaki dan tangannya. 
8.      Disunahkan menyiram air mulai  anggota yang kanan diawali dari
kepala bagian kanan terus kebawah, kemudian bagian      kiri dan diulang
3(tiga) kali 

PERHATIAN !!!!!
Dilarang memotong kuku,rambut dsb. karena dilarang menganiaya seseorang
jenazah dengan menimbulkan kerusakan atau cacat tubuhnya. 


CARA PELAKSANAAN MEMANDIKAN MAYAT
        1.      Mulai menyiram anggota wudhu secara urut, tertib, segera dan
rata, hingga 3(tiga) kali serta memulainya anggota wudhu sebelah kanan.
        2.      Menyiram seluruh tubuh 
        3.      Menggosok seluruh tubuh dengan air sabun.
        4.      Menyiram berulang kali sejumlah gasal, misalnya 3,5,7,9,11
kali, hingga rata dan bersih sesuai kebutuhan.
        5.      Menyiram dengan larutan kapur barus atau bau-bauan yang
harum, cendana dsb.
        6.      Mengeringkan seluruh tubuh badannya dengan handuk hingga
kering                                                               
      
        Perhatian :
        *       Saat menyiram air pada wajah muka, tutuplah lubang mata,
hidung, mulut dan telinganya, agar tidak kemasukan air.
        *       Apabila anggota tubuh terluka dalam menggosok dan
membersihkan bagian terluka supaya hati-hati dengan lembut seakan
memberlakukan pada waktu masih hidup tidak boleh semena-mena.

MENGKAFANI JENAZAH.
1.      Perlengkapan  
        a.      Selembar lingkaran badan dan yang lebih panjang dari seluruh
tubuh. 
        b.      Tujuh utas tali dari sobekan kain putih. 
        c.      Segi tiga tutup kepala/rambut 
        d.      Sehelai tutup dada, dengan berlobang pada bagian lehernya 
        e.      Sehelai tutup aurat dengan terlipat panjang. 

        Khusus wanita dilengkapi dengan :
        f.      Kain Basahan, sebagai penutup bagian aurat bawah. 
        g.      Mukena untuk rambut 
        h.      Baju untuk penutup bagian dada dan lengan. 

Perhatian :
Bahan perlengkapan, kain putih, cukup yang sederhana, tidak berlebihan
jenisnya,demikian juga bagai jenazah wanita kain basahan, baju, mukena
adalah yang sehari-hari dipakai.

Demikian juga disunahkan bagi mayat laki² dikafani sampai 3 lapis kain,
tiap-tiap lapis hendaknya dapat menutup seluruh tubuhnya, Selain 3 lapis itu
ditambah baju kurung dan sorban. 
Adapun bagi mayat wanita disunahkan 5 lapis, masing-masing berupa Sarung,
Baju, Kerudung dan 2 lapis yang menutup seluruh tubuhnya.


2.      Kapas
-               5 helai kapas selembar telapak tangan 
-       7 Bulatan kecil, penutup lobang 
-       Serbuk kapur barus, cendana dsb yang berfungsi sebagai pengharum. 


PERSIAPAN PENGATURAN BAHAN KAFAN

1.              Tali sebanyak 7 diletakkan di: 
                a.      Ujung Kepala 
                b.      Leher 
                c.      Pinggang/ pada lengan tangan 
                d.      Perut
                e.      Lutut
                f.      Pergelangan tangan
                g.      Ujung kaki 

2.              Letakkan kain memanjang seluruh tubuhnya, serta melebar
lingkaran badan dengan ditaburi serbuk kapur barus. 
3.      Aturlah dan letakkan sehelai tutup kepala/rambut. 
4.      Bentangkan tutup dada, dengan masih terhampar ke atas. 
5.      Letakkan sehelai tutup aurat (Semacam Celdam) memanjang dan melebar
ke bawah dan merupakan kain lipatan 
6.      Bagi wanita aturlah mukena,baju dan kain basahan yang sesuai dengan
letaknya.

dakwah, khutbah, tablig

Yang paling tinggi dan paling luas cakupannya adalah dakwah. Di dalam dakwah ada beberapa jenjang aktifitas. Salah satunya adalah tabligh. Jadi tabligh itu bagian dari dakwah, tetapi dakwah bukan hanya semata-mata tabligh. Selain tablig, dalam jenjang aktifitas dakwah juga mengenal taklim. Yang bersifat lebih intensif dari sekedar tabligh. Ada juga takwin, yang jauh lebih intensif lagi dari taklim dan tabligh.
Tabligh sendiri berarti menyampaikan. Dari kata ballagha - yuballighu. Di dalam tabligh, yang menjadi inti masalah adalah bagaimana agar sebuah informasi tentang agama Islam bisa sampai kepada objek dakwah. Tapi tidak ada tuntutan lebih jauh untuk mendalami suatu masalah itu.
Berbeda dengan taklim, di mana intensitasnya lebih dalam. Orang-orang yang masuk dalam program taklim punya beban lebih, yaitu belajar dan mendalami masalah-masalah yang lebih dari ajaran Islam.
Sedangkan istilah khutbah dan ceramah sesungguhnya merupakan media dalam bertabligh. Khutbah itu identik dengan khutbah jumat, yang hukumnya wajib diselenggarakan tiap hari Jumat. Meski pun di luar khutbah jumat juga kita mengenal adanya khutbah nikah, khutbah ''Idul Fithri dan ''Idul Adha. Sedangkan ceramah sifatnya agak bebas, tidak ada ketentuan waktu dan kesempatannya. Misalnya ceramah maulid, pengajian dan sejenisnya.
Khutbah Jumat
Khutbah jumat punya syarat dan rukun yang tidak boleh ditinggalkan, sebab terkait erat dengan sah atau tidaknya sebuah ibadah mahdhah. Sedangkan ceramah agak bersifat bebas, bisa dilakukan kapan saja, oleh siapa saja, dalam event apa saja, dan tidak punya syarat dan rukun.
Rukun Khutbah Jumat:

  1. Mengucapkan hamdalah.
  2. Mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
  3. Menyampaikan wasiat atau pesan untuk taqwa.
  4. Membaca sebagian ayat Al-Quran pada salah satu dari dua khutbah (sebaiknya di khutbah pertama).
  5. Mendoakan umat Islam pada salah satu dari dua khutbah (sebaikya di khutbah kedua).
Syarat Sah Khutbah Jumat:
  1. Khatibsuci dari hadats kecil dan besar.
  2. Khatibsuci dari najis baik di tubuh, pakaian maupun tempat.
  3. Khatibmenutup aurat seperti shalat.
  4. Khatibberdiri bila mampu.
  5. Khatibduduk di antara dua khutbah.
  6. Khutbah pertamabersambung dengan khutbah kedua.
  7. Khutbah keduabersambung dengan shalat Jumat.
  8. Rukunnyayang paling asasi disampaikan dalam bahasa Arab, meski tambahannya boleh dengan bahasa selain Arab.
  9. Khutbah itu didengarkan/dihadiri oleh minimal 40 orang yang wajib atasnya shalat jumat (mazhab Asy-Syafi''i)
  10. Khutbah dilakukan masih pada waktu Dzhuhur
Pada waktu khutbah Jumat, memang diharamkan berbicara. Karena itu kalau ingin menyelenggarakan shalat Jumat yang kebanyakan dihadiri oleh anak-anak, perlu penanganan khusus sebelumnya. Pelajaran shalat yang pertama kali buat anak-anak itu bukan bagaimana bacaan shalat atau gerakannya, tetapi bagaimana adab berada di masjid.
Pendidikan adab di dalam masjid ini harus bisa menjadi anak-anak itu beisa tenang di dalam masjid, baik saat shalat jumat, atau pun shalat lainnya. Dan jangan sekali-kali melepas anak masuk ke masjid sebelum dia dinyatakan lulus dalam pendidikan adab di dalam masjid.
Rasulullah SAW memang memerintahkan agar kita menyuruh anak usia 7 tahun untuk shalat, tetapi bukan dimulai dari masjid. Jadi jangan langsung dibawa ke masjid, sementara anak itu belum dibekali dengan adab-adab berada di masjid.
Ini kesalahan paling fundamental dari kebanyakan kita, yaitu kita hanya membekali mereka dengan gerakan dan bacaan shalat, tetapi tidak pernah memastikan bahwa anak itu sudah punya bekal tentang adab-adab berada di masjid. Sehingga masjid menjadi riuh dan bising dengan kehadiran mereka.
Maka anak-anak itu perlu mendapat terapi dan pelatihan yang sangat mendasar tentang adab berada di masjid. Entah bagaimana cara dan tekniknya, pokoknya mereka harus diajarkan bagaimana masuk masjid dan beribadah dengan tenang, khusyu'' dan tidak bersuara saat khutbah disampaikan. Sekedar memarahi dan melarang mereka untuk tidak ribut dan dilakukan hanya saat khutbah jumat adalah pekerjaan yang sia-sia, bahkan menghilangkan pahala jumat.

;;

By :
Free Blog Templates